Bencana kembali menghantam tanah Aceh yang sudah terlalu sering diuji. Air naik, rumah tenggelam, keluarga terpecah, dan malam-malam panjang dilalui dengan rasa takut yang tak pernah selesai. Namun di tengah semua itu, muncul hal yang membuat dada terasa jauh lebih sesak daripada hujan yang turun tanpa jeda: angapan bahwa ini hanyalah bencana kecil.
Entah dari mana standar itu lahir.
memandang Aceh dari jarak yang terlalu jauh.
Kacamatanya sudah lama retak, tak lagi bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di tanah ini.
Pandangan mereka kabur oleh angka, oleh rapat, oleh rutinitas yang membuat penderita di daerah lain terlihat mirip dengan catatan pinggir.
Mereka tidak merasakan udara yang masuk ke rumah.
Tidak mendengar tangis anak-anak
Tidak mencium bau lumpur yang menempel berhari-hari.
Oleh karena itu, mudah bagi mereka menyebutnya kecil.
Mudah membayangkannya.
Mudah mengira semuanya baik-baik saja.
Namun dibalik pedasnya rasa ini, ada fakta yang lebih keras dari itu
Aceh selalu bangkit, bahkan ketika dianggap remeh.
Aceh bergerak, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Aceh bertahan, bahkan ketika bantuan datang terlambat atau tidak datang sama sekali.
Karena ketangguhan Aceh tidak pernah dibuat oleh sorotan kamera atau keputusan rapat.
Ketangguhan itu lahir dari rakyatnya sendiri dari tangan yang saling menarik, dari bahu yang saling menahan, dari hati yang menolak menyerah.
Jadi jika ada yang menganggap ini “bencana kecil,” biarlah.
Yang kecil hanyalah perhatian mereka, bukan luka Aceh.
Aceh akan kembali bangkit, seperti selalu dengan atau tanpa mereka.

