Oleh: Rasya
Ketika aroma rempah-rempah Aceh menyatu dengan hiruk pikuk kota Banda Aceh, maka yang lahir bukan sekadar pesta kuliner - melainkan perayaan identitas budaya yang hidup. Aceh Street Food Festival 2025 yang akan digelar di Lapangan Blang Padang pada 24–26 November mendatang, menjadi momentum penting untuk menegaskan kembali posisi Aceh sebagai salah satu poros kuliner terkuat di Indonesia.
Festival ini lebih dari sekadar deretan tenda makanan dan minuman. Ia adalah simbol kebangkitan ekonomi daerah kreatif, wadah ekspresi bagi para pelaku UMKM kuliner, dan ruang pertemuan antara tradisi dengan inovasi. Di tengah maraknya tren kuliner modern, Aceh menunjukkan bahwa cita rasa lokal tetap relevan dan mampu bersaing dengan keunikan serta kekayaan rempahnya.
Yang menarik dari konsep acara ini adalah keberhasilannya menggabungkan wisata halal, budaya, dan gaya hidup perkotaan dalam satu kesatuan yang harmonis. Aceh, dengan karakter religius dan warisan budayanya yang kuat, menampilkan wajah kuliner yang tidak hanya lezat di lidah, tetapi juga menenangkan hati. Dari kopi sanger hingga mie Aceh pedas menggigit, setiap suapan mengandung cerita dan sejarah panjang tentang percampuran budaya Arab, India, dan Melayu.
Lebih jauh lagi, festival ini adalah cerminan bagaimana kuliner bisa menjadi alat diplomasi budaya. Dengan kehadiran wisatawan domestik dan mancanegara, Aceh Street Food Festival 2025 membuka ruang dialog lintas budaya melalui bahasa yang paling universal yaitu makanan.
Namun, tantangan tetap ada. Festival ini perlu memastikan kelanjutan dampak ekonominya bukan hanya tiga hari pesta, tetapi juga peluang jangka panjang bagi pelaku kuliner lokal. Jika dikelola dengan baik, ajang ini bisa menjadi model bagi daerah lain di Indonesia dalam mengembangkan kuliner berbasis kearifan lokal.
Pada akhirnya, Aceh Street Food Festival 2025 bukan hanya ajang pesanan makanan. Ia adalah ajakan untuk mengenal Aceh lebih dekat lewat rasa, aroma, dan kehangatan interaksi manusia di balik setiap sajian. Sebuah bukti bahwa kuliner bukan hanya soal perut, tapi juga soal identitas, kebersamaan, dan kebanggaan.
