Eventaceh.com I Lhoseumawe - Isu penyelenggaraan konser grup musik legendaris Dewa 19 di Aceh kini menjadi perbincangan hangat masyarakat. Setelah sebelumnya Wali Kota Lhokseumawe memberikan lampu hijau atas rencana konser tersebut, kini muncul pernyataan lanjutan dari pihak pemerintah kota yang menimbulkan tanda tanya besar: Apakah konser Dewa 19 benar-benar akan digelar di Aceh, atau justru batal di tengah jalan?
Beberapa waktu lalu, sinyal positif dari Wali Kota Lhokseumawe disambut antusias oleh banyak pihak, terutama kalangan penikmat musik dan pelaku industri hiburan lokal. Rencana konser ini dianggap sebagai momentum kebangkitan sektor ekonomi kreatif Aceh, yang selama ini minim acara berskala nasional.
Namun, dalam beberapa hari berselang, Wali Kota kembali memberikan pernyataan lanjutan yang terkesan lebih hati-hati. Ia menegaskan, izin penyelenggaraan konser masih perlu mempertimbangkan berbagai aspek, terutama kearifan lokal, norma syariat, serta stabilitas sosial di daerah. Sikap ini pun memunculkan spekulasi: apakah ada tekanan dari kelompok tertentu atau kekhawatiran terkait persepsi publik?
Aceh memiliki posisi unik dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Sebagai daerah dengan kekhususan penerapan syariat Islam, setiap bentuk hiburan publik selalu menjadi isu sensitif. Konser musik, apalagi yang menghadirkan artis besar nasional, sering kali dihadapkan pada pertanyaan klasik: Apakah sesuai dengan nilai-nilai lokal?
Dalam konteks ini, memuat soal konser Dewa 19 sebenarnya bukan hanya soal musik, tapi juga tentang ruang ekspresi publik dan batas toleransi sosial di bawah payung budaya Aceh. Di satu sisi, masyarakat menginginkan ruang hiburan muda yang sehat dan kreatif. Di sisi lain, sebagian kelompok menilai konser semacam ini berpotensi menimbulkan gelombang norma atau menimbulkan keramaian yang sulit dikendalikan.
Pemerintah Kota Lhokseumawe kini berada pada posisi dilematis. Jika konser dibatalkan, akan muncul kesan bahwa pemerintah tidak konsisten dan menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif. Sebaliknya, jika konser dilanjutkan tanpa pengaturan yang matang, bisa saja muncul resistensi dari sebagian masyarakat.
Yang dibutuhkan kini bukan sekadar keputusan “boleh atau tidak boleh”, tetapi solusi tengah yang menjembatani nilai-nilai syariat dengan kebutuhan ruang hiburan masyarakat. Regulasi yang jelas, pengawasan ketat terhadap tata acara, serta komunikasi publik yang transparan akan menjadi kunci.
Polemik konser Dewa 19 ini hendaknya menjadi momentum refleksi bagi semua pihak: bagaimana Aceh bisa menjadi daerah yang menjaga marwah syariat, namun tetap terbuka pada perkembangan seni dan ekonomi kreatif. Dunia berubah, dan generasi muda Aceh juga berhak merasakan ruang ekspresi yang positif tanpa harus menanggalkan nilai-nilai yang menjadi identitas daerah.
Apapun keputusan akhir pemerintah, satu hal yang pasti: isu ini bukan sekadar tentang konser, tetapi tentang arah kebudayaan dan keterbukaan Aceh ke depan.
