Banda Aceh, 28 Oktober 2025 - Di tengah maraknya festival budaya, kuliner, dan seni di Aceh sepanjang 2025, masih terasa minim kegiatan yang secara khusus mengangkat tema literasi dan budaya membaca. Padahal, Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pusat ilmu dan peradaban, terutama di masa kerajaan Islam klasik, yang melahirkan banyak ulama, penulis, dan karya sastra berpengaruh di Nusantara.
“Kalau kita lihat kalender event Aceh 2025, ada festival kopi, festival perkusi, hingga pekan kebudayaan. Tapi hampir tidak ada ruang besar yang membicarakan buku, sastra, atau membaca sebagai budaya masyarakat,” ujar Nadia Fadhilah, pegiat literasi dari Komunitas Baca Lamnyong.
Ia menambahkan bahwa keterlibatan generasi muda Aceh dalam dunia literasi masih sangat terbatas, baik dalam bentuk penulisan kreatif, diskusi buku, maupun pameran literasi digital.
Kurangnya festival literasi dinilai menjadi tantangan besar dalam upaya membangun ekosistem literasi yang hidup dan berkelanjutan. Sementara itu, minat baca nasional juga masih tergolong rendah, dan Aceh belum menempati posisi signifikan dalam indeks literasi nasional.
“Literasi bukan hanya soal membaca buku, tapi juga kemampuan berpikir kritis dan memahami dunia melalui teks, media, dan pengalaman,” jelas Dr. Teuku Rasyid, akademisi dari Universitas Syiah Kuala. “Jika festival-festival kita bisa memasukkan elemen literasi seperti pojok baca, bedah buku, atau lomba menulis maka kita sedang menanam benih penting untuk masa depan pendidikan Aceh.”
Sejumlah komunitas seperti Forum Literasi Aceh, Gerakan Aceh Membaca, dan Ruang Buku Ulee Lheue mulai mendorong gagasan untuk menghadirkan Festival Literasi Aceh 2026, yang akan menggabungkan pameran buku, bincang penulis, kelas menulis, serta panggung sastra dan musik.
“Budaya membaca harus dirayakan seperti kita merayakan kopi dan tari saman,” tambah Nadia. “Kita perlu membuat literasi terasa menarik dan menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Aceh hari ini.”
